Arti Anggraeni (28) ketika membatik bersama rekannya. (Eko Purwanto/mili.id)
Banyuwangi - Tanggal 02 Oktober diperingati Hari Batik Nasional. Peringatan setiap tahun ini diharapkan terus menumbuh kembangkan minat dan kecintaan masyarakat terhadap kain batik.
Terlebih batik sebagai warisan budaya lokal sudah mendunia. Kecintaan batik diharapkan mampu mengembalikan kejayaan penjualan kain batik utamanya yang dibuat pembatik lokal Banyuwangi.
Harapan itu yang terbesit di benak Arti Anggraeni (28), pembatik di Dusun Klontang, Desa Gendoh, Kecamatan Sempu. Sebagai buruh batik tulis khas Banyuwangi, Arti berharap kondisi pasar batik khas Banyuwangi bisa pulih kembali sebelum tereduksi gara-gara badai pandemi.
Setelah pandemi, praktis penjualan batik juragan tempat Atik bekerja merosot tajam. Bisa dikatakan terseok-seok. Kondisi itu otomatis berimbas pada proses pembuatan batik yang ia buat.
"Pasti berpengaruh. Dulu bisa buat sampai berlembar-lembar kain. Saat ini dua tiga lembar kain saja sudah ngoyo," katanya.
Dikatakan Arti, kondisi itu terjadi mulai tahun 2019. Sebelum tahun itu, batik tropikal yang ia buat laris manis di pasar lokal. Bahkan tembus mancanegara.
Sudah tak terhitung karya batiknya melenggang ke pasar ekspor. Salah satu pasar ekspor yang melirik adalah dari Las Vegas. Diekspor melalui Bali.
Tapi itu dulu, Arti menyebut, kejayaan itu tinggalah kenangan. Sulit mengembalikan kejayaan ditengah tantangan dan ketatnya persaingan pasar.
"Kini hanya melayani pasar Banyuwangi saja. Kalau ekspor udah setop sejak pandemi. Paling banyak pesanan dari instansi pendidikan. Itupun pada tahun ajaran baru," tambah dia.
Kini tersisa ia dan satu orang temannya bertahan menggoreskan canting di atas kain. Sudah 24 tahun ia menekuni profesi membatik. Saking lamanya, Arti baru sadar jika tanggal 02 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional.
Ade Rendra (37) juragan tempat Arti bekerja membenarkan jika usaha batiknya belum pulih sejak ada Pandemi Covid-19. Sebagai generasi kedua dari usaha batik keluarga ini, omset penjualan batik masih belum pulih.
“Masih turun 50 persen, sebelum Covid-19 omset per bulan bisa Rp 20 juta, sekarang omset hanya Rp 10 juta per bulan,” katanya.
Untuk bertahan usahanya bisa tetap berjalan, Ade terpaksa mengurangi jumlah karyawan. Sebelumnya, di tempatnya ada 35 orang karyawan, dan sekarang hanya memiliki 15 karyawan.
“Dulu empat bulan sekali bisa ekspor batik hingga 3.000 ribu lembar, sekarang ekspor vakum, tidak ada permintaan,” katanya.
“Setelah pandemi terasa sekali dampaknya, banyak pengurangan produksi karena tidak ada permintaan dari luar negeri, dan permintaan lokal ditangguhkan,” imbuhnya.
Gara-gara pandemi itu, lanjut dia, usaha batiknya ini dalam sebulan hanya mampu memperoduksi 300 hingga 400 lembar kain batik dengan ukuran dua meter.
“Penjualan masih belum normal setelah pandemi,” ucapnya singkat.
Ade mengaku untuk mempertahankan usaha warisan dari orang tuanya ini, harus bekerja keras. Ia harus jeli dalam melihat peluang pasar, dan menciptakan inovasi demi meningkatkan penjualan batik.
“Alhamdulillah, usaha batik ini masih berjalan, karena kami berani memilih warna yang mencolok di pasar,” pungkasnya.
Baca juga: Majukan Industri Batik, Situbondo Bakal Gelar Festival
Editor : Achmad S