Surabaya - Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP-PTSI), Prof Dr Thomas Suyatno, menegaskan pentingnya kesetaraan perlakuan antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sehingga tidak adanya diskriminasi kebijakan berbeda dengan PTN pada era pemerintahan baru.
Baca juga: Lima Pelaku Vandalisme di Surabaya Diciduk Satpol PP, Ini Sanksinya
Hal itu disampaikan Prof Thomas dalam diskusi bertajuk Perspektif Pengelolaan Perguruan Tinggi Swasta pada Pemerintahan Baru yang digelar di Graha Wiyata Untag Surabaya.
“Kita harus menolak diskriminasi kebijakan. Tidak boleh ada aturan yang menghambat kreativitas dan inovasi di dunia pendidikan tinggi swasta. PTN pun harus diatur agar tidak menjadi ‘kapal keruk’ dalam menerima mahasiswa jalur mandiri,” ujarnya.
Dia juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi PTS di era globalisasi dan digitalisasi, termasuk dalam era yang dikenal sebagai VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).
“Untuk meningkatkan kualitas, profesionalisme, dan kesehatan tata kelola PTS, yayasan dan pemimpinnya harus bertransformasi. Kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan adalah langkah penting menuju tata kelola yang lebih sehat dan profesional,” jelas Prof. Thomas saat menjadi pembicara di Untag Surabaya.
Ia menambahkan bahwa inovasi, strategi manajerial yang sistematis, serta prinsip branding yang kuat merupakan elemen kunci untuk menghadapi tantangan ini. Menurutnya, langkah-langkah tersebut harus didukung oleh pemahaman mendalam tentang posisi saat ini dan visi masa depan yang ingin dicapai.
“Revitalisasi dan redinamisasi kepemimpinan sangat penting. Kita perlu membaca situasi terkini dengan lebih jeli, memahami dampak regulasi, serta terus berinovasi untuk memperkuat brand dan daya saing,” jelasnya.
Prof Thomas juga menyampaikan empat poin utama harapannya kepada pemerintahan baru di antaranya, tidak ada diskriminasi antara PTN dan PTS, Menolak konsep "penegerian swasta" jika yayasan tidak menghendaki, mengingat perubahan besar harus dilakukan melalui rapat pembina yayasan.
Baca juga: Perempuan Surabaya Jatuh dari Motor usai Tasnya Dijambret
“Kemudian, Mengurangi regulasi yang terlalu mengikat sehingga tidak membatasi kreativitas dan inovasi dunia pendidikan swasta. Dan Membatasi jalur mandiri PTN sesuai UU No. 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, dengan penerimaan mahasiswa maksimal hingga 15 Agustus,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya, J Subekti menegaskan pentingnya kesiapan PTS dalam menghadapi dinamika pemerintahan baru.
“Ketika pemerintahan berganti, tentunya ada berbagai perubahan yang akan kita hadapi, mulai dari regulasi hingga pola pengelolaan. Kami percaya, melalui diskusi ini, kita akan memperoleh wawasan strategis yang bermanfaat, tidak hanya untuk Untag Surabaya, tetapi juga bagi PTS lainnya di seluruh Indonesia,” ujar J Subekti
Subekti juga mengungkapkan tantangan lain yang dihadapi oleh YPTA, seperti persaingan dengan perguruan tinggi asing yang mulai masuk ke Indonesia.
Baca juga: Unusa Digandeng Kemenkes jadi Pelopor Pertolongan Pertama Luka Psikologis
“Kami menyadari potensi persaingan ini, tetapi kami juga melihatnya sebagai peluang untuk terus meningkatkan kualitas dan profesionalisme,” ungkap Subekti.
Lebih jauh, YPTA Surabaya kini juga berperan aktif dalam membina perguruan tinggi di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Langkah ini menjadi bagian dari visi kolaborasi antar-PTS yang diusung oleh yayasan untuk saling memperkuat dan menghadapi tantangan bersama.
“Diskusi ini dapat menjadi forum inspiratif bagi para peserta untuk merancang strategi yang lebih matang dalam mengelola perguruan tinggi swasta. Dengan berbagai wawasan yang diberikan oleh para pembicara, PTS di bawah naungan YPTA, termasuk Untag Surabaya, semakin percaya diri untuk menghadapi dinamika pemerintahan baru,” ungkapnya.
Editor : Aris S