Ilustrasi
Surabaya, mili.id - Setiap menyambut datangnya Idulfitri, masyarakat Indonesia secara umum membeli pakaian baru hingga membagikan Tunjangan Hari Raya (THR) berupa uang baru bagi sanak-saudara.
Tradisi ini sudah sangat mengakar hingga menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia, yang seolah wajib dipenuhi ketika menyambut datangnya Idulfitri.
Baca juga: Polemik PT Pakerin Surabaya Berujung Demo Karyawan
Lantas, bagimana dua tradisi tersebut hingga menjadi budaya? Simak penjelasan berikut yang dikutip dari berbagai sumber:
Budaya Membeli Baju Baru saat Idulfitri
Menurut orientalis Belanda yang kala itu menjadi Penasihat Urusan Pribumi untuk Pemerintah Kolonial, kebiasaan membeli baju baru ini terjadi pada abad ke-20.
Kala itu, kaum borjuis saling bertandang ke rumah kerabatnya, merayakan pesta disertai hidangan makan khusus. Sebelumnya, mereka selalu membeli pakaian baru untuk mendatangi acara tersebut.
Kebiasaan bertamu tersebut kemudian diikuti oleh umat Islam Indonesia saat Idulfitri dengan mengenakan pakaian baru seperti perayaan tahun baru, yang dilakukan oleh orang Eropa.
Sementara itu, sumber lain menyebut tradisi baju baru saat Idulfitri telah ada sejak abad ke-16. Tepatnya, ada di masa Kesultanan Banten. Mayoritas masyarakat Muslim di wilayah tersebut sibuk menyiapkan baju baru menjelang hari raya Idulfitri.
Bagi kalangan bangsawan dan kalangan kerajaan, mereka akan membeli baju baru. Sementara bagi masyarakat kalangan bawah, mereka menyiapkan baju barunya dengan menjahit sendiri.
Tradisi serupa juga dapat dijumpai di Kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta. Masyarakat di Yogyakarta pada saat itu juga disibukkan mencari baju baru jelang Lebaran tiba, baik membeli atau menjahit sendiri.
Budaya Membagikan THR saat IdulFitri
Baca juga: Muhaimin Iskandar Sowan Kiai Kholil Asad di Ponpes Wali Songo Situbondo
Tradisi bagi-bagi THR dalam sejarah Indonesia, tercatat sudah ada sejak tahun 1951 silam, yang dimulai dengan adanya kebijakan pembagian THR kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Bermula pada tahun 1951, Perdana Menteri Soekiman memberikan tunjangan kepada Pamong Pradja (saat ini disebut PNS).
Pemberian tersebut berupa uang persekot (pinjaman awal) dengan tujuan agar dapat mendorong kesejahteraan lebih cepat.
Nantinya, uang persekot yang diterima oleh Pamong Pradja ini akan dikembalikan ke negara dalam bentuk pemotongan gaji pada bulan berikutnya.
Kemudian pada 13 Februari 1952, kaum pekerja atau buruh mengajukan protes terhadap adanya kebijakan tersebut.
Mereka menuntut pemerintah untuk memberikan tunjangan yang sama seperti yang diberikan kepada Pamong Pradja.
Baca juga: Halalbihalal YPTA Surabaya 2025, Imam Besar Masjid Al Akbar Serukan Hati Bersih
Pada tahun 1954, perjuangan tuntutan mereka akhirnya dikabulkan. Menteri Perburuhan Indonesia kala itu mengeluarkan surat edaran tentang Hadiah Lebaran.
dalam hal ini, seluruh perusahaan di Indonesia diimbau untuk memberikan "Hadiah Lebaran" kepada para pekerjanya sebesar seperduabelas dari upah.
Lalu pada tahun 1961, surat edaran yang awalnya bersifat imbauan tersebut kemudian berubah menjadi peraturan menteri yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan "Hadiah Lebaran" kepada pekerja yang telah bekerja selama minimal 3 bulan.
Selanjutnya pada tahun 1994, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) kala itu mengeluarkan peraturan menteri dengan mengubah istilah "Hadiah Lebaran" menjadi "Tunjangan Hari Raya" atau disingkat THR yang dikenal sampai saat ini.
Seiring berjalannya waktu, pemberian THR menjadi budaya di Indonesia ketika menjelang atau saat momen Idul Fitri. Istilah bagi-bagi THR juga biasa digunakan untuk tradisi bagi-bagi uang kepada keluarga, saudara, hingga kerabat.
Editor : Aris S