Ilustrasi
Surabaya, mili.id - Kabar mengenai potensi sound horeg mendapatkan hak kekayaan intelektual (HAKI) menuai berbagai reaksi pro dan kontra di tengah masyarakat.
Sound horeg, yang merupakan fenomena musik yang menggabungkan elemen-elemen musik tradisional dengan ritme elektronik atau digital, telah mendapat perhatian luas, terutama di kalangan anak muda.
Baca juga: Budak Algoritma Dibedah di Unusa: Mahasiswa Diajak Melek Teknologi
Dosen Kajian Media dan Budaya Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Radius Setiyawan mengungkapkan bahwa pengakuan terhadap sound horeg sebagai karya yang berhak mendapatkan HAKI bisa menjadi pedang bermata dua.
Menurutnya salah satu keluhan utama masyarakat terkait sound horeg adalah volume suara yang sangat keras, bahkan melebihi ambang batas aman pendengaran.
Hal inilah yang menimbulkan gangguan kenyamanan dan ketertiban, terutama di lingkungan padat penduduk, tempat ibadah, atau pada malam hari.
“Bukan berarti sound horeg sepenuhnya negatif. Sebagai ekspresi budaya populer, ia tetap punya nilai artistik dan potensi kreatif. Tapi ketika tidak dibarengi dengan edukasi, regulasi, dan sensitivitas sosial, ia bisa menjadi bentuk gangguan sosial alih-alih sarana hiburan,” ujar Radius.
Menurut Radius, dalam konteks sosiologi suara, suara yang keras ini bisa mencerminkan pembagian kelas sosial atau nilai-nilai budaya tertentu.
Ia memberikan contoh soal kelas sosial dan ruang publik. Biasanya, sound horeg sering diputar di acara-acara terbuka atau di lingkungan yang lebih muda.
“Musik keras ini, dalam sosiologi suara, bisa dipandang sebagai bentuk identitas sosial bagi kelompok tertentu, sementara orang lain, terutama yang lebih tua atau konservatif, menganggapnya sebagai gangguan sosial,” lanjut Radius.
Baca juga: Bangun Indonesia Lebih Kokoh: Petra Civil Expo 2025 Dorong Inovasi Infrastruktur
Sementara, dalam masyarakat urban yang padat, suara seperti sound horeg bisa menciptakan perbedaan pengalaman ruang antar kelompok di satu sisi ada mereka yang menikmati musik tersebut, sementara di sisi lain ada yang merasa terisolasi atau terganggu oleh kebisingan tersebut.
Sebagai pengkaji pop culture, Radius menilai Sound horeg menjadi saluran identitas budaya anak muda, yang menggabungkan elemen-elemen musik tradisional dengan teknologi dan gaya hidup kontemporer.
Kata Dia, ini adalah contoh bagaimana suara bisa mencerminkan perubahan sosial dan bagaimana budaya baru berkembang dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi.
“Anak muda yang mengadopsi sound horeg mungkin ingin menunjukkan identitas mereka yang lebih progresif atau bahkan menentang norma-norma budaya tradisional,”katanya.
Lebih lanjut dalam hal ini, Radius tetap menekankan pentingnya peninjauan yang cermat sebelum memberikan hak cipta terhadap sound horeg.
Baca juga: Soto Seger Joyoboyo Surabaya: Hadir dengan Rasa Otentik, Ciptakan Lapangan Pekerjaan
Menurutnya, langkah tersebut harus diikuti dengan regulasi yang jelas mengenai siapa yang berhak mendapatkan perlindungan hak cipta dan bagaimana penerapannya di masyarakat.
"Jika tidak dikelola dengan baik, perlindungan HAKI bisa mengarah padamonopoli dan menghambat perkembangan karya-karya baru yang terinspirasi dari sound horeg itu sendiri," tambahnya.
Radius menyarankan agar pengakuan terhadap sound horeg dilakukan dengan cara yang mengedepankan prinsip keberagaman budaya, di mana inovasi dihargai tanpa merusak akses publik terhadap kekayaan budaya tersebut.
“Maka regulasi yang adil dan transparan diperlukan untuk memastikanbahwa langkah ini tidak merugikan keberagaman budaya dan kreativitas lokal,” pungkasnya.
Editor : Aris S