Surabaya - Wakil Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Jasra Putra menyambangi kediaman 4 anak korban pembunuhan oleh ayahnya di Jakarta Selatan (Jaksel) pukul 9.30. Empat anak yang menjadi korban yaitu inisial VA (6), S (4), A (3). dan A (1).
KPAI menyampaikan belasungkawa sedalam dalamnya atas tragedi kelam di dunia perlindungan anak. Bahkan kasus ini akan dikenang terus menerus di dunia perlindungan anak. Tentu hukuman maksimal menanti pelaku pembunuh 4 anak tersebut.
Baca juga: Eri Cahyadi Buka Kejuaraan Basket antar SMA/SMK Seluruh Surabaya
KPAI bertemu sejumlah pihak di lokasi, dari kepolisian, wakil camat, Sudin Perlindungan Anak, ketua RT, pemilik kontrakan dan satpol PP.
Dalam keterangan Jasra setiba di lokasi menyampaikan, bahwa kontrakan tidak jauh sekitar 50 meter dari Jalan Kebagusan Raya. Keterangan pemilik kontrakan yang masih saudara dengan RT, bahwa pelaku sudah 7 bulan tidak bayar kontrakan rumah yang berbiaya Rp 1,5 juta, dan pemilik kontrakan sudah berusaha mengusir.
KPAI juga mempertanyakan mekanisme penanganan kasus KDRT ketika di dalamnya ada anak. Dalam keterangan yang berwenang masih melihat seputar anak yang tidak diapa-apa kan orang tua pasca KDRT dua minggu yang lalu.
Dalam pertemuan tersebut Ketua RT menyampaikan bahwa warga tidak curiga, meski memang anak-anak yang menjadi korban ini tidak keluar rumah sudah beberapa hari. Yang akhirnya ketika muncul bau menyengat, warga mendobrak rumah tersebut, dan ditemukan 4 anak dibunuh dan pembunuhnya juga mencoba bunuh diri.
Sedangkan dari keterangan kepolisian, saat ini pelaku pembunuh anak yang merupakan ayahnya sendiri, telah dipindah kan oleh polisi ke Rumah Sakit Kramat jati, dan 4 anak korban sudah diautopsi juga di Rumah Sakit Kramat Jati.
Sebelumnya warga menyampaikan, sepekan lalu ibu dari 4 anak tersebut mengalami KDRT sehingga sampai saat korban KDRT ibunya masih dalam perawatan di rumah sakit, yang kasusnya telah diproses Kepolisian. Sedangkan ayahnya saat ini menjadi terduga pelaku pembunuhan 4 anak.
KPAI menyayangkan situasi sangat mengenaskan, Jasra melihat urusan anak-anak yang sangat tertinggal dalam situasi mengontrak, sangat tertinggal dalam kasus konflik orang tuanya.
"Dengan adanya kasus KDRT sebelumnya. Bahwa kita tahu, situasi keluarga di Indonesia sangat beragam ya. Anak-anak hidup dalam berbagai kondisi. Yang seringkali sebenarnya sudah harus dalam pengawasan negara," ujar Jasra.
KPAI melihat problem ekonomi menjadi persoalan keluarga tersebut sejak awal yang memicu persoalan lainnya, sehingga terjadilah peristiwa tersebut. Karena sering kali dalam konflik orang tua, anak dijadikan jaminan, ancaman dan sasaran dari konflik yang tidak berkesudahan.
Seperti dalam Undang Undang Perlindungan Anak kita bicara perlindungan anak anak dari orang tua berkonflik. Karena kita tahu, Undang Undang Perlindungan Anak mengangkat isu ini, karena temuan temuan anak di korbankan, menjadi alat ancaman, dipertaruhkan, anak menjadi jaminan.
Sehingga perilaku orang tua tidak bisa terkontrol ya, dan anak anak selalu menjadi korbannya. "Saya kira ini pengulangan sekian kalinya, kita semua gagal dalam melindungi anak anak," tegas Jasra.
Apalagi sebenarnya ada kasus penyerta sebelum anak anak meninggal, yang tidak ada satu pihak pun memastikan kondisi pengasuhan anak, ketika ibunya mengalami KDRT.
"Berbagai permasalahan dan pertanyaan muncul pasca peristiwa ini, tentu kita menunggu hasil investigasi Kepolisian secara menyeluruh, agar tahu akar persoalannya. Yang saya kira tidak jauh dari persoalan orang tua yang berkonflik sangat tajam dan menganggap KDRT dan membunuh anak sebagai jalan keluar masalah," imbuh Jasra.
Dalam kasus ini KPAI menari beberapa kesimpunan, yang pertama, KPAI melihat ada problem dalam memastikan pengasuhan anak yang layak dalam orang tua berkonflik dan status rumah kontrakan.
Kedua, warga sudah mengetahui konflik mereka sejak lama dari tanggal peristiwa, artinya ada situasi keluarga yang harusnya dapat di laporkan dan mendapat intervensi, terutama dalam hal ini sebagaimana mandat Undang Undang Perlindungan Anak menjauhkan anak sementera dari keluarga berkonflik, hanya mungkin masyarakat belum terbiasa merujuk anak anak ke lembaga yang diberi wewenang menerimanya.
Ketiga, warga mengetahui rumah tersebut sudah tidak beraktifitas sejak Minggu Malam, namun tidak ada mekanisme, atau seorangpun yang memeriksa, siapakah yang berwenang melakukan atau memastikan kondisi anak.
Keempat, Sabtu (25/12) disampaikan warga ibu dari anak anak tersebut masuk Rumah Sakit akibat KDRT. Sejauh mana penanganannya? Apakah ada proses penahanan pelaku? Kalau tidak ditahan karena alasan apa?
Kelima, sebagaimana mandat Undang Undang Perlindungan Anak, bila menemukan anak dalam keluarga berkonflik, maka anak anak tersebut masuk kategori Perlindungan Khusus Anak. Maka sejauh apa pemahaman masyarakat dan petugas, dalam soal memastikan anak penting untuk dihindarkan sementara dari konflik orang tuanya. Apakah masyarakat dan petugas mengerti mekanisme merujuk anak anak yang kehilangan pengasuhan orang tua berkonflik
Baca juga: 8 Orang Komplotan Begal di Surabaya Diberangus, 6 Masih Anak-anak
Keenam, Darurat RUU pengasuhan anak. Karena untuk intervensi di dalam keluarga, butuh payung kebijakan komperhensif. Termasuk, ketika ada kekerasan, petugas dapat segera menindaklanjuti kondisi pengasuhan anak yang terancam
Ketujuh, Yang paling berat lagi dalam kasus ini, sebenarnya, melalui ada dan tidaknya anggaran dalam kasus KDRT. Kalau ada anggaran, tentu akan membawa sensitifitas, kepekaan, responsif dan inisiatif di lapangan dalam segera menyelamatkan anak dalam keluarga KDRT. Karena jika terbiasa tidak dianggarkan, maka petugas akan kesulitan dalam melaksanakan berbagai tugasnya dalam satu kasus saja, misalnya.
Kedepalan, siapa yang paling merasa bertangung jawab, ketika dalam kasus KDRT meninggalkan anak anak, apalagi anak ditinggalkan dengan pelaku, apakah ada anggaran pengasuhan anak di kepolisian? Atau dalam persoalan sperti KDRT yang menyertakan anak, ada payung kebijakan lintas profesi untuk menyikapinya
Kesembilan, harus memiliki shelter yang ditetapkan, sebagai tempat anak korban KDRT. Yang punya SOP dalam pengembalian anak ke orang tua, kalau kasus penyebab KDRT nya sudah di temukan.
Kesepuluh, bahwa ormas, rumah ibadah, masyarakat peduli anak, rt rw, jadi penting berfungsi sebagai gugus tugas persoalan keluarga.
Kesebelas, sebenarnya di TKP perisitiwa, banyak lembaga layanan yang di bentuk dan ada di tengah masyarakat untuk melindungi anak. Namun yang menjadi pertanyaan, adakah sistem deteksi terpadu, yang mampu merespon bersama soal KDRT yang meninggalkan pengasuhan anak
Kedua belas, Dalam penanganan kasus KDRT. Kita bicara berapa lama di prosesnya. Sampai dapat menyentuh persoalan pengasuhan anak.
Ketiga belas, KPAI selalu mendorong agar Direktorat PPA dan PPO segera terbentuk di Kepolisian, Agar kewenangan dan anggaran bertambah. Sehingga inisiatif, kepekaan, responsif, payung kebijakan dalam menindaklanjuti persoalan keluarga, terutama anak lebih menyeluruh dalam setiap kasus.
Sebenarnya disetiap kelurahan, RW, RT. Ada struktur tugas dan fungsi mereka untuk layanan masyarakat, dan semuanya dibayar profesional dan program programnya dianggarkan.
Namun seringkali, dalam monitoring dan evaluasi KPAI, untuk anggaran soal anak masih belum maksimal, bahkan sangat tertinggal. Sehingga seringkali, tidak ada petugas yg merasa, ditugaskan, intervensi, seperti yang terjadi dengan profil keluarga yang tinggal di kontrakan ini.
Baca juga: WN Turki Bobol Apartemen Kekasih di Surabaya, Curi Uang Hingga Jam Tangan Mewah
"Padahal kita tahu di suatu daerah, jumlah warga anak jumlahnya paling banyak. Artinya pelayanan anak paling menentukan kinerja petugas. Bila disuatu daerah anak anak lebih dominan tidak tertangani baik. Maka dipastikan layanan untuk warga yang jumlahnya paling banyak anak, tidak terdeteksi dengan baik, papar Jarsa.
Jadi setidaknya dari 100 persen anggaran di daerah, harusnya 60 persen utk anak. Karena ukuran kinerjanya pelayanan warga, dimana anak paling banyak
Tapi yang terjadi dengan anggaran stunting saja. Kenyataannya banyak penyalahgunaan anggaran (terakhir kasus depok, ditemukan kuah sop utuk mencegah stunting). Yang juga menjadi keresahan Presiden. Bansos stunting banyak di pakai di luar anggaran yang langsung ke penerima manfaat keluarga stunting. Bansos kesejahteraan menurut BPS lebih banyak dihabiskan untuk industri candu. Maka kalau ini tidak dirunah, persoalan anak di daerah, terutama anak yang berada dalam keluarga rentan akan terus tertinggal.
Artinya karena anak tidak bisa membela dirinya sendiri. Ketika anggaran untuknya disalahgunakan. Anak tidak bisa apa apa. Sehingga perlu perubahan cara fikir, cara pandang dan menyadari dalam anggaran pemenuhan hak anak dan anggaran perlindungan khusus anak.
Sekali lagi tanggung jawab pengasuhan adalah di orang tua. Tetapi ketika ditemukan ortu KDRT. mandatnya ke negara utk memastikan adanya pengasuhan. Tapi kesulitan kita hari ini. Payung kebijakan RUU pengasuhan anak kita tidak punya. Jadi persoalan anak di bunuh ortu akan terjadi terus dan tinggal menunggu pengulangan, ketika di dalam keluarga persoalan nya hanya ditangkap soal KDRT, tidak serta soal pengasuhan anak yang layak.
Jadi KPAI tidak bosan bosanya, selalu mendorong dan mengingatkan. Soal RUU pengasuhan anak, yang sudah 20 tahun ini di perjuangkan namun belum berhasil menjadi perhatian, meski sudah masuk prolegnas di nomor urut 70.
Sehingga kalau dari atas dan bawah tidak memiliki kebijakan. Maka kita akan mengundang terus para oknum untuk penyalahgunaan anggaran anak
Lembaga layanan banyak di lapangan. Tetapi kalau sumber bergerak tidak ada, payung kebijakan pengasuhan anak di keluarga, operasionalnya tidak disiapkan. Maka masalah di lingkungan terdekat anak. Hanya soal charity, event dan kalau ada hari anak, dalam merespon soal perlindungan anak.
"Dulu kita juga mendorong adanya Satgas Perlindungan Anak di tingkat RT RW, namun kelihatannya redup, meski banyak Kementerian Lembaga membuat berbagat Task Force di tingkat lingkungan masyarakat, namun pada kenyataan di kasus ini, belum maksimal kerjanya. Bahwa Melihat sebuah negara adalah melihat mereka memperlakukan generasinya," imbuh Jasra.
Editor : Aris S