Ilustrasi (iStock: AxPltel)
Mili.id - Masyarakat Jawa Timur khususnya Madura tentu tak asing lagi dengan istilah carok. Carok adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Madura untuk mempertahankan harga diri, dan dijadikan sebagai cara terakhir untuk menyelesaikan masalah.
Carok adalah pertarungan yang dilakukan oleh orang Madura menggunakan senjata celurit untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan.
Baca juga: Potret Semangat Sekolah Anak-anak Sorong di Balik Program Makan Bergizi Gratis
Biasanya, carok dipicu dengan kasus sentimen, seperti perselingkuhan, salah paham, masalah tanah atau harta warisan, utang-piutang, dan masalah lain yang terkadang sepele.
Akibat dari carok yang dilakukan duel maupun kelompok ini ada dua kemungkinan, yaitu menyebabkan hilangnya nyawa ataupun masih hidup namun dengan luka berat.
Sakera, Kisah Mandor Tebu Pasuruan Jago Carok
Sejarah carok bermula dari kisah seorang mandor kebun tebu di Pasuruan, Jawa Timur, yang dikenal dengan nama Sakera. Sakera yang bernama asli Sudirman, merupakan seorang keturunan Madura yang tinggal di Pasuruan.
Bagi Sakera, yang dikisahkan dengan kumis tebal dan sangar ini menyebut celurit adalah simbol perlawanan rakyat terhadap kesewenangan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga harus dibawa saat dirinya bertugas mengawasi.
Saat itu, perusahaan Belanda sedang membutuhkan banyak lahan dan ingin membelinya dengan harga murah. Perusahaan Belanda kemudian menugaskan Carik Rembang, yang berhasil mendapatkan lahan murah menggunakan cara kekerasan kepada rakyat.
Baca juga: Produksi Garam di Sumenep Naik 17 Ribu Ton
Tidak ingin rakyat sengsara, Pak Sakera melakukan perlawanan dan karena itu ia menjadi buronan pemerintah. Pak Sakera akhirnya tertangkap dan dijebloskan ke penjara di Bangil, Pasuruan.
Ketika di penjara, istri Sakera yang bernama Marlena diceritakan selingkuh dengan seorang pria bernama Brodin. Mendengar kabar itu, Sakera kabur dari penjara untuk membunuh Brodin.
Selain itu, Sakera juga membalas dendam kepada banyak orang, termasuk Carik Rembang, para petinggi perkebunan, dan kepala polisi Bangil. Namun, pemerintah dapat menjebak Sakera dan segera mengeksekusinya.
Sejak saat itu, orang-orang mulai berani melakukan perlawanan dengan berbekal senjata celurit, yang dianggap Sakera sebagai simbol perlawanan.
Baca juga: UC Surabaya Kenalkan Budaya Nusantara pada Mahasiswa Asing Lewat Discover Indonesia
Belanda kemudian menggunakan cara licik untuk menghadapi pemberontakan, yakni dengan mengutus blater (jagoan desa yang amat ditakuti), yang juga bersenjata celurit.
Belanda kemudian menggunakan cara ini sebagai alat adu domba dan menggunakan cara agar masyarakat masyarakat pribumi saling membunuh. Blater-blater ini kemudian melakukan carok dengan sesamanya, yang sering kali berakhir dengan kematian.
Seiring berjalannya waktu, carok menjadi bagian dari budaya Madura. Tradisi ini semakin mengakar di masyarakat Madura, dan dianggap sebagai salah satu cara untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan.
Editor : Aris S