Muniri Faqod
Mili.id - Setelah satu bulan berpuasa. Tiba saatnya orang Islam merayakan hari raya Idul Fitri. Momentum yang ditunggu-tunggu oleh orang tua-muda, kaya-miskin, bahkan orang Islam yang pura-pura berpuasa sekalipun.
Begitu kata Muniri Faqod, tokoh muda Bangkalan dalam catatannya terkait Hari Raya Idul Fitri di Madura, dilansir dari Konsensus Bhiruh Deun. Senin (2/5).
Baca juga: Halalbihalal YPTA Surabaya 2025, Imam Besar Masjid Al Akbar Serukan Hati Bersih
"Orang Madura memakai istilah tellasen. Istilah tellasen kenni’ untuk menyebut hari raya Idul Fitri dan tellasen ré rajeh untuk menyebut hari raya Idul Adha. Kata tellasen sebenarnya berasal dari Bahasa Jawa. Merupakan derivasi dari kata tellas yang mempunyai arti “habis”. Di Jawa justru tidak memakai istilah sinonim ini, untuk menyebut hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, melainkan memakai istilah “lebaran”. "beber Muniri.
Dari sudut pandang nya, kandungan filosofis pemakain istilah tellasen, kurang lebih sama dengan pengertian umum hari raya Idul Fitri bahwa bulan puasa sudah habis atau selesai dilaksanakan, sebagai penanda bahwa dosa-dosa haqq Allah sudah diampuni dengan tebusan satu bulan puasa. Sedangkan dosa-dosa haqq Annas terhapus setelah melakukan ritual salam-salaman.
"Sebagian besar orang Islam meyakini hal ini, termasuk penulis sendiri. Sekalipun ada yang meragukan, paling hanya sebagian kecil orang Islam, dan diantara mereka adalah peragu yang menganggap syaratnya terlalu ringan. Berikut hadits tentang jaminan ampunan bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah RA mengenai efek berpuasa; “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena alasan keimanan dan mengharapkan pahala, maka diampuni segala dosa-dosa yang pernah dilakukan”. "urai Direktur Konsensus Bhiruh Dheun Bangkalan tersebut.
Ia menjelaskan, begitu utamanya hari raya Idul Fitri. Alasan ini yang membuat semua orang Islam merindukannya. Sebagai trigger utama, hari raya Idul Fitri memang bukan alasan tunggal kerinduan. Ada makanan dan camilan khas tellasen yang turut serta menguatkan rindu. Dan dalam rindu ada sejuta kenangan.
"Marcel Proust, sastrawan Prancis (1900), dengan teori involuntary memory-nya menjelaskan bahwa kenangan bisa muncul karena ada rasa makanan, aroma, atau perasaan terhadap obyek tertentu yang menjadi pemicu. Involuntary memory adalah memori tak sadar, bagian memori manusia yang terpantik karena isyarat yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari yang menghubungkan dengan masa lalu tanpa usaha sadar." katanya.
Baca juga: Aksinya Tepergok Korban, Pencuri Uang di Toko Madura Banyuwangi Diborgol Polisi
Momentum tellasen, lanjut Muniri juga tentang kenangan khas sajian menunya, seperti kowa adhun yang lezat melebihi opor ayam. Ada topha’ ladheh dan soto daging plus esoh. Di samping makanan, ada aneka camilan seperti leppet, lontong, rojek, dan lopés. Ada juga rengginang dan jejen erruz. Tapi untuk dua camilan ini,sekarang mulai kekurangan peminat. Tipuan wadah kongguan isi rengginang dan jejen erruz lambat laun mulai menghilang dari peradaban tergeser camilan-camilan pabrikan. Semua camilan khas tellasen, selain dua camilan ini, masih bisa dinikmati setelah pulang dari shalat Idul Fitri.
Dari makanan dan camilan khas menu tellasen yang tercecap, kemudian tanpa sadar menguntai rindu pada keseluruhan kenangan masa lalu yang muncul serentak. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tengah mengalami involuntary memory-nyasedang lepas dari kotak pandoranya.
"Namun, satu sisi voluntary memory (memantik ingatan dengan sadar) juga mengambil peran dalam momentum tellasen. Seseorang seolah harus mempersiapkan segala sesuatu untuk melewati momentum tellasen. Salah satu buktinya, identifikasi hari raya Idul Fitri dengan baju baru tidak berubah hingga kini." ujar penulis buku Blater; Falsafah, Perilaku, dan Interaksi Sosial.
Baca juga: Usai Salat Idulfitri, Bupati Situbondo Makan Bersama Ratusan Warga Terpencil
Menurutnya, tua, muda, dan anak-anak sama saja. Hanya saja bedanya, bagi anak-anak hanya sekedar baju baru, tidak menghitung merk, yang penting baru. Yang muda-muda yang penting terlihat keren. Kalangan tua lebih mementingkan merk. Lebih-lebih merk sarung. Bagi kalangan tua, yang mempunyai uang lebih condong ke sarung merk BHS. Sementara sarung merk Lamiri dan Donggala mlipir tak bisa menyaingi keanggunan BHS.
Selain baju baru tellasen, nampak tradisi unjung-unjung masih dilakukan. Sasaran unjung-unjung bagi orang tua-orang-tua adalah rumah saudara yang lebih tua. Untuk muda-mudinya unjung-unjung nyaris diterlupakan, karena repot karebheh dibhi’ (repot nggak tau alasannya). Unjung-unjung bagi anak-anak kecil adalah semua rumah yang diduga bisa memberinya angpao.
"Sungguh momentum tellasan sangat komplek. Banyak aspek kenangan yang menggelanyut dalam ingatan yang berpadu antara satu orang dengan orang lainnya dan menjadi rasa haru yang berbekas indah. Sangat tidak mungkin, ada orang yang pernah mengalaminya bisa melupakan kenangan-kenangan itu." tutup Dosen STAI al-Hamidiyah Bangkalan tersebut.
Editor : Redaksi