Komunitas Brang Wetan Bareng Guru Penggerak Sidoarjo Bahas Sekolah Toleransi

© mili.id

Suasana FGD Komunitas Seni Budaya Brang Wetan bersama guru penggerak berlangsung (fariz/mili.id)

Sidoarjo - Komunitas Seni Budaya Brang Wetan menyelenggarakan acara Focus Group Discussion (FGD) bagi guru penggerak untuk pengembangan sekolah toleransi, di Fave Hotel Sidoarjo, Selasa (30/04/2024).

Acara ini diikuti oleh 89 guru penggerak di seluruh Sidoarjo dan dibuka oleh Kasi GTK Disdikbud Kabupaten Sidoarjo, M. Nuh.

M. Nuh mengatakan, selama ini sudah ada pelatihan guru penggerak angkatan 4, 7, 8, angkatan 9 yang sedang berproses.

Dari kalangan guru penggerak tersebut, sebanyak 13 guru yang diangkat menjadi kepala sekolah SMP, dan dua guru sebagai kepala sekolah SD.

"Bagi yang belum diangkat menjadi kepala sekolah masih ada peluang untuk menjadi pengawas," ujarnya.

Pertemuan dengan guru penggerak ini merupakan kali keduanya yang diselenggarakan oleh komunitas Brang Wetan.

Pada Februari lalu, diikuti oleh Guru Penggerak perwakilan dari 50 sekolah yang menjadi penerima manfaat program Cinta Budaya Cinta Tanah Air (CBCTA).

Sedangkan kali ini adalah semua guru penggerak yang ada di Sidoarjo, termasuk sekolah yang tidak menjadi sekolah penerima manfaat.

Sementara fasilitator dari UIN Sunan Ampel Surabaya M. Amin Hasan berharap, bagi guru penggerak di sekolah penerima manfaat dapat membagikan pengalaman apa saja yang sudah dilakukan.

"Juga bagaimana strategi untuk mengembangkannya sehingga menjadi dinamis dan tidak membosankan. Sedangkan yang belum menjadi sekolah toleransi dapat mengawali bagaimana merancang program sekolah toleransi," harapnya.

Amin menambahkan, program toleransi ini bukan sesuatu yang baru, menurutnya, program tersebut pasti beririsan dengan program-program lain.

"Misalnya saja, Sekolah Ramah Anak, Bela Negara, Pramuka, Paskibraka, bahkan Sekolah Tanggap Bencana dan Siaga Kependudukan," imbuhnya.

Saat sebagian peserta diminta membagikan pengalaman di sekolahnya masing-masing.

Ada yang menyampaikan pengakuan bahwa selama ini siswa non-muslim belum mendapat perhatian, namun belakangan sudah diberikan perhatian sehingga tidak disisihkan.

Bahkan ada juga guru yang menyampaikan testimoni, bahwa anak-anak inklusi sudah mendapatkan rasa percaya diri yang tinggi dan sama sekali tidak minder dengan anak-anak normal lainnya.

Sebaliknya, dengan keberadaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah itu, justru menjadi sarana belajar yang baik untuk mengasah jiwa toleransi.

Berdasar pengakuan itu, menurut Amin dapat diambil kesimpulan bagaimana mereka sudah melakukan praktik-praktik yang baik terkait toleransi.

"Intinya itu bahwa toleransi adalah sikap menghormati, menerima, dan merespon perbedaan," tegas Amin Hasan.

Karena itu, ditambahkan Amin, program ini menyasar SMP karena pendidikan toleransi sebaiknya dilakukan sejak dini.

"Kalau di SMP sudah menjadi siswa yang toleran maka Insya Allah tidak ada persoalan lagi di SMA. Karena tingkat SMP menjadi posisi strategis masa depan Indonesia yang lebih baik," papar Konsultan Program Inovasi Kemitraan Pendidikan Indonesia - Australia ini.

Salah seorang guru dari SMP Santo Yusuf bercerita, di sekolah Katolik ada juga yang menerima siswa beraga Islam. Di sana sama sekali tidak ada upaya Kristenisasi.

"Karena yang kami ajarkan adalah pentingnya nilai-nilai cinta kasih tanpa harus menyebut Yesus dan sebagainya," pungkasnya.

Editor : Aris S



Berita Terkait